Sabtu, 30 Oktober 2010

Profil Pak Amien Rais....

  Sebuah majalah pernah menjulukinya sebagai King Maker. Julukan itu merujuk pada besarnya peran Amien Rais dalam menentukan jabatan presiden pada Sidang Umum MPR 1999 dan Sidang Istimewa 2001. Padahal, perolehan suara PAN, partainya, tak sampai 10% dalam Pemilu 1999.
Cita-cita Amien waktu kuliah di Fakultas Sosial Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta ingin menjadi diplomat. Selesai tahun 1968, ia melanjutkan studi ke Notre Dame Catholic University di Indiana, AS. Sebelum itu ia sempat mengenyam setahun menjalani penelitian di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, sebagai siswa tamu. Di Notre Dame, ia juga mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Uni Sovyet dan Eropa Timur. Ia lulus dari universitas ini 1974.
Sebelum dunia politik nasional mengenal Amien, ia sudah malang melintang di dunia pendidikan dan organisasi massa keagamaan. Dari almamaternya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dia dianugerahi penghargaan sebagai guru besar di bidang ilmu politik pada 10 April 1999. Saat itu dia berpidato dengan judul pidato Pengukuhan Kuasa, Tuna Kuasa, dan Demokratisasi Kekuasaan.

Amien dibesarkan dalam keluarga guru yang peduli dengan pendidikan. Ia lahir di Solo, 26 April 1944, dari pasangan H Syuhud Rasyid dan Sudalmiyah. Syuhud sejak kecil sudah dikirim ayahnya, Umar Rais, untuk belajar di Madrasah Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta. Saat lulus, Syuhud langsung mengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah di berbagai kota di Indonesia, seperti Palembang, Pare-pare, dan Pekalongan. Di Pekalongan inilah Syuhud bersahabat karib dengan Muhammad Adnan, ayah Adi Sasono, mantan Ketua Umum ICMI.
Sudalmiyah, putri dari Wirjo Soedarmo yang punya nama kecil Sukiman, berasal dari Gombong. Ibu Sukiman, Nyonya Rakilah, cicit dari Bupati Kebumen. Ia aktif di Aisyiyah, sayap perempuan Muhammadiyah setelah sebelumnya sering mendengar ceramah Kiai Ahmad Dahlan di Jakarta. Setelah lulus dari Hogere Indlandse Kweekschool, ia langsung menjadi guru di sekolah Muhammadiyah.
Amien sendiri merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Sedangkan masa kecilnya dihabiskan di Kepatihan Kulon, Solo. Sebuah wilayah yang sebagian besar penduduknya bisa dikatakan sebagai “Islam Abangan”. Tidak heran kalau keluarga ini menjadi salah satu keluarga yang disegani masyarakat sekitar.
Sejak kecil, orangtua Amien sudah mengajarkan pada anak-anaknya agar bangun pagi, shalat tepat waktu, banyak membaca, serta berbudi pekerti baik. Dari lingkungan, Amien banyak belajar tentang realitas masyarakat. Dia sangat dekat dengan kondisi keluarga miskin, di kampung sederhana. Sangat tahu betul bentuk ruang tidur, bahkan dapurnya.
Ketika usia SD dan SMP, selain belajar di sekolah umum Muhammadiyah, ibunya mengirimkan Amien ke Madrasah Ibtidaiyah Mambaul Ulum untuk belajar keagamaan. Begitu juga ketika di SMP, ibunya juga mengirimkan Amien belajar di Madrasah Tsanawiyah Khususiyah Al-Islam. Namun, ketika di SMA, Amien tidak lagi belajar dobel di madrasah.
Salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang diikutinya di luar jam sekolah adalah Hisbul Wathon. Sebuah organisasi kepanduan yang ada di lingkungan Muhammadiyah. Di Hisbul Wathon ini pula Amien berkenalan dengan Hari Sabarno yang sekarang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri.
Rumah Haji Asdi Narju, yang menjadi tempat kosnya selama tiga tahun pertama di Yogyakarta, letaknya tidak jauh dari Masjid Agung. Di masjid ini pula Kiai Ahmad Dahlan pertama kali membuat revolusi pemahaman beragama. Di masjid tersebut Amien berinteraksi dengan tokoh Muhammadiyah AR Fachruddin dan berkenalan dengan ilmu agama. Namun, ilmu agama secara sistematis diperolehnya di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Di IAIN inilah Amien berkenalan dengan para intelektual Muslim, seperti Prof Mukti Ali dan Dawam Rahardjo, yang akhirnya membentuk kelompok diskusi limited group. Sebuah kelompok diskusi yang punya pengaruh cukup besar saat itu.
Pengalaman menuju puncak di Muhammadiyah menjadi terbuka ketika dia terpilih sebagai anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo pada Oktober 1985. Kemudian dia diserahi tugas sebagai ketua majelis tarjih yang menangani soal fatwa. Lima tahun kemudian, dalam muktamar Muhammadiyah, nama Amien mulai disebut sebagai pesaing kandidat pucuk pimpinan Muhammadiyah. Amien hanya kalah tipis dari Azhar Basyir yang mendapat dukungan suara 997, sementara Amien 994.
Tahun 1993, di depan peserta tanwir Muhammadiyah, Amien mulai melemparkan pikiran tentang perlunya suksesi pimpinan nasional. Suatu hal yang masih sangat tabu pada saat itu. Pasalnya, hampir tidak ada orang yang berani mengusik ketenangan Soeharto dari kursi kekuasaannya. Ketika Azhar Basyir meninggal tahun 1994, Amien pun ditunjuk sebagai pengganti sampai kongres mendatang.
Karena sikap kritisnya pada Soeharto, banyak yang meragukan Amien akan terpilih sebagai ketua umum dalam Muktamar Muhammadiyah tahun 1995 di Aceh. Hasilnya justru menunjukkan kebalikan, bahkan Amien menang dengan dukungan suara hampir mutlak, 98,5 persen. Sebuah dukungan tertinggi dalam sejarah Muhammadiyah, dan berhasil mengangkat pamor Muhammadiyah di tingkat nasional.
Ketika reformasi mulai bergulir, 22 Agustus 1998 Amien meninggalkan kursinya di Muhammadiyah untuk terjun ke politik dengan membentuk partai baru. Sehari kemudian Amien mendeklarasikan berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN). Pada 1998 Amien pernah menanggapi pernyataan Menteri Dalam Negeri R Hartono yang menyatakan akan memulai reformasi pada 2003. Bagi Amien, kalau memang ingin melakukan reformasi tak perlu menunggu hingga tahun 2003. “Reformasi sekarang saja,” ucapnya.
Pada saat itu demonstrasi secara sporadis sudah mulai terjadi. Empat mahasiswa Universitas Trisakti menjadi korban dan tewas tertembak pada 12 Mei 1998. Kematian ini pula yang kemudian memancing kemarahan dan amuk massa. Akibatnya, berjatuhan korban manusia dan harta yang tidak sedikit. Akhir dari pergulatan ini, Soeharto mengundurkan diri dari kursi kekuasaannya pada 21 Mei 1998.
Pada era menjelang keruntuhan Orde Baru, Amien adalah cendikiawan yang berdiri paling depan. Tak heran ia kerap dijuluki Loko Reformasi. Akhirnya setelah terlibat langsung dalam proses reformasi, Amien membentuk Partai Amanat Nasional (PAN) pada 1998 dengan platform nasionalis terbuka. Ketika hasil Pemilu 1999 tak memuaskan bagi PAN, Amien masih mampu menjadi ketua MPR.
Posisinya tersebut membuat peran Amien begitu besar dalam perjalanan politik Indonesia saat ini. Pada 1999, Amien memang urung maju dalam pemilihan presiden, tapi pada 2004 ini, ia berniat all out untuk tampil sebagai RI-1. Namun sayang, perolehan suara hanya menempatkannya di urutan ketiga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar